Siapa yang Paling Bertanggung Jawab Mengingatkan Sekolah dari Euforia Berlebihan

Bagikan Keteman :


Setiap akhir tahun ajaran, di banyak sekolah—dari tingkat TK, SD, hingga SMP—sering kita temui sebuah fenomena yang makin lama makin menjadi-jadi: Perayaan akhir tahun yang mewah, penuh hiburan, dekorasi megah, kostum seragam, dan rangkaian acara layaknya konser besar atau pesta pernikahan.

Suara musik keras, panggung megah, sesi foto profesional, video highlight, bahkan tak jarang, biaya tak terduga yang harus dibayarkan oleh setiap orang tua.
Pertanyaannya: “Siapa yang seharusnya mengingatkan sekolah agar kembali ke jalur pendidikan yang sederhana dan bermakna?”


Mengapa Fenomena Ini Harus Dikritisi?

Perayaan memang penting. Anak-anak berhak mendapat apresiasi. Tapi… ketika perayaan berubah menjadi beban finansial bagi orang tua, apalagi jika dilakukan berulang-ulang setiap tahun, maka itu bukan lagi bentuk penghargaan pendidikan, melainkan bentuk eksploitasi sosial dan finansial yang terselubung.

Dan parahnya lagi, banyak orang tua terjebak dalam situasi dilematis: Tak mau ikut, takut anaknya malu… Mau ikut, tapi hati berat karena biaya membengkak.


Lalu, Siapa yang Paling Bertanggung Jawab Mengingatkan?

1. Komite Sekolah: Garda Terdepan Suara Orang Tua

Komite Sekolah dibentuk bukan untuk formalitas belaka.
Tugas utamanya adalah menjadi jembatan antara aspirasi orang tua dan pihak sekolah.

Mereka wajib:

  • Mengontrol dan mengevaluasi program sekolah.
  • Menyampaikan keberatan orang tua secara resmi.
  • Mengusulkan alternatif acara yang lebih sederhana, murah, tapi tetap bermakna.

Pesan penting:
Komite jangan hanya hadir saat tanda tangan proposal anggaran, tapi harus aktif menjadi suara pembela kepentingan orang tua dan siswa.


2. Dewan Guru dan Kepala Sekolah: Penjaga Arah Pendidikan

Guru dan kepala sekolah adalah penentu utama arah kebijakan program sekolah.
Mereka yang paling tahu filosofi pendidikan sejati.

Mereka seharusnya bertanya dalam hati sebelum memutuskan acara besar:
“Apakah ini benar-benar mendidik? Atau hanya untuk gengsi sesaat dan pamer kemewahan?”

Sebagai pendidik, mereka punya tanggung jawab moral untuk:

✅ Mengutamakan esensi pendidikan daripada seremonial berlebihan.
✅ Melibatkan musyawarah dengan orang tua sebelum membuat keputusan besar.
✅ Menjaga agar sekolah tetap menjadi lembaga pembangun karakter, bukan pemburu gengsi.


3. Dinas Pendidikan: Pengawas dan Pengendali Kebijakan

Ketika suara orang tua dan komite tak lagi didengar, Dinas Pendidikan punya tanggung jawab lebih besar.

Peran mereka:

  • Memberikan arahan kebijakan melalui surat edaran resmi.
  • Menindak sekolah yang melakukan pungutan liar atau program komersial berlebihan.
  • Mengingatkan sekolah agar kegiatan yang bersifat memberatkan wali murid dihentikan.

4. Forum Orang Tua / Wali Murid: Kekuatan Suara Kolektif

Orang tua bukan pihak pasif!
Jika sudah merasa terbebani, jangan hanya menggerutu di belakang layar.

Langkah konkret yang bisa dilakukan:

✅ Mengadakan pertemuan orang tua secara kolektif.
✅ Mengajukan surat keberatan secara resmi kepada sekolah.
✅ Menyuarakan aspirasi dalam rapat-rapat komite.
✅ Bersikap kompak menolak jika program dianggap berlebihan.

Ingat… satu suara mungkin diabaikan, tapi seratus suara sulit untuk dibungkam.


5. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama: Pengingat Moral Sosial

Kadang, nasihat dari luar sistem pendidikan bisa lebih menggugah.
Tokoh agama, tokoh masyarakat, atau pemimpin adat setempat, bisa ikut berperan dengan:

✅ Memberikan ceramah atau pengingat di forum umum.
✅ Mengajak masyarakat kembali ke nilai kesederhanaan dan anti-hedonisme.
✅ Mengingatkan bahwa pendidikan adalah pembentukan karakter, bukan pemborosan harta.


Mengapa Semua Ini Penting?

Jika tidak ada yang berani mengingatkan, maka dampaknya akan terus meluas:

❌ Generasi anak-anak tumbuh dalam budaya mental instan dan haus pujian.
❌ Orang tua terus-menerus terjerat dalam lingkaran gengsi sosial.
❌ Lembaga pendidikan kehilangan arah, berubah menjadi lembaga komersial dengan kemasan pendidikan.

Ingat… Pendidikan sejati bukan soal seberapa besar pesta perayaannya, tapi seberapa kuat karakter dan mental yang dibentuk.


Penutup: Berani Mengingatkan, Demi Masa Depan yang Lebih Baik

Mengkritisi bukan berarti membenci sekolah.
Mengingatkan bukan berarti anti kebahagiaan anak.

Justru di situlah bentuk cinta sejati terhadap pendidikan anak-anak kita.

Mari kita kembalikan makna perayaan kepada esensinya: syukur, apresiasi sederhana, dan motivasi untuk terus belajar lebih baik.
Bukan soal panggung megah, bukan soal foto mewah, tapi soal makna perjuangan dan ketulusan mendidik.

Jadilah bagian dari orang tua yang berani bersuara.
Karena diam dalam ketidakadilan, sama dengan mendukungnya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment